PERDAGANGAN
ANTAR NEGARA
Puluhan tahun yang lalu, ahli ekonomi telah menyatakan bahwa
perdagangan luar negeri merupakan salah satu sumber kekayaan negara, sehingga
jika suatu negara ingin mencapai kemakmuran, maka mutlak negara tersebut harus
melakukan perdagangan dengan negara lainnya.
Beberapa salasan mengapa suatu negara memerlukan negara lain
dalam kehidupan ekonominya adalah:
1. Tidak semua kebutuhan masyarakatnya dapat
dipenuhi oleh komoditi yang dihasilkan di dalam negeri, sehingga untuk memenuhi
kebutuhan tersebut, harus dilakukan impor dari negara yang memproduksinya.
Sebagai contoh: meskipun negara Arab adalah negara yang
kaya, namun tidak dapt menghasilkan karet untuk bahan baku ban mobil, sepatu,
atau sendal. Tentunya untuk memenuhi kebutuhan bahan baku karet tersebut harus
membelinya dari negara-negara yang menghasilkannya (negara Asia misalnya).
2. Karena terbatasnya konsumen, tidak semua
hasil produksi dapat dipasarkan di dalam negeri, sehingga perlu dicari pasar di
luar negeri. Untuk itulah suatu negara membutuhkan negara lain untuk perluasan
pasar bagi produknya.
3. Sebagai sarana untuk melakukan proses
alih teknologi. Dengan membeli produk asing suatu negara dapat mempelajari
bagaimana produk tersebut dibuat dan dipasarkan, sehingga dalam jangka panjang
dapat melakukan produksi untuk barang yang sama.
4. Perdagangan antar negara sebagai salah satu cara
membina persahabatan dan kepentingan-kepentingan politik lainnya.
5. Secara ekonomis dan matematis perdagangan antar
negara dapat mendatangkan tambahan keuntungan dan efisiensi dari dilakukannya
tindakan spesialisasi produksi dari negara-negara yng memiliki keuntungan
mutlak dan/ atau keuntungan berbanding. Dan untuk memberi gambaran mengenai hal
ini dapat digunakan contoh berikut:
Contoh 1:
Dua negara, Indonesia dan Cina memiliki data-data produksi
sebagai berikut:
Indonesia
Produksi beras 1000 ton/ satu unit produksi
Produksi gandum 50 ton/ satu unit produksi
Cina
Produksi beras 500 ton/ satu unit produksi
Produksi gandum 200 ton/ satu unit produksi
Dengan beberapa asumsi bahwa:
a. Perdagangan
hanya dilakukan oleh dua negara dan dua komoditi yang sama
b. Hasil produksi adalah
per satu unit produksi
c. Transaksi dilakukan
secara barter
Maka bersediakah kedua negara tersebut melakukan
perdagangan? Jika bersedia, berapakah kenaikan produksi dunia dari kedua
komoditi tersebut? Dan berapakah keuntungan yang diperoleh masing-masing
negara?
Jawab:
TABEL 1
|
Produksi Beras
|
Produksi Gandum
|
Harga Relatif gandum = beras
|
Harga Relatif Beras = Gandum
|
Indonesia
|
1000 ton
|
50 ton
|
1 gd = 20 beras
|
1 brs = 0,05 gd
|
Cina
|
500 ton
|
200 ton
|
1 gd = 2,5 beras
|
1 brs = 0,4 gd
|
Dari tabel 1 terlihat bahwa Indonesia ternyata tampaknya
lebih produktif dalam menghasilkan beras, dan sebaliknya. Cina lebih produktif
dalam menghasilkan gandum. Untuk memastikannya kita cari harga relatif kedua
produk tersebut di masing-masing negara. Dari perhitungan tampak, bahwa di
Indonesia 1 ton gandum dihargai dengan 20 ton beras (100/50), sedangkan di Cina
1 ton gandum hanya seharga 2,5 ton (500/200). Dengan demikian, untuk produk
gandum ternyata lebih murah jika diproduksi di Cina.
Sedangkan untuk produk beras yang terjadi adalah sebaliknya.
Dari perhitungan harga relatif, Indonesia lebih efisien dalam memproduksi
beras, hal ini dapat dilihat bahwa untuk 1 ton beras di Indonesia hanya seharga
0,005 ton (50/100) gandum, jauh lebih murah 1 ton beras di Cina yang seharga
0,4 ton (200/500) gandum.
Dengan keadaan tersebut dapat disimpulkan bahwa, Indonesia
dapat memproduksi beras lebih efisien dan sebaliknya melakukan spesialisasi
pada produksi beras. Begitu pula sebaliknya Cina dapat lebih efisien dalam
memproduksi gandum dan sebaliknya melakukan spesialisasi pada produk tersebut.
Dengan demikian dapat dilihat dalam tabel berikut:
|
Produksi Beras
|
Produksi Gandum
|
Indonesia
|
2000
|
-
|
Cina
|
-
|
400
|
Dari tabel kedua tersebut terlihat bahwa produksi beras
dunia telah meningkat, dari sebelum adanya spesialisasi hanya sebesar 1500 ton
(produksi Indonesia 1000 + produksi Cina 500) menjadi 2000 ton. Begitu pula
dengan produksi gandum dunia juga mengalami peningkatan dari 250 ton (produksi
Indonesia 50 ton + produksi Cina 200 ton) menjadi 400 ton. Dengan demikian
masyarakat dunia dapat lebih banyak menikmati produk beras dan gandum.
Namun, berapakah keuntungan yang dirasakan oleh negara
Indonesia dan Cina? Perhatikan tabel proses perdagangan berikut ini:
|
Produksi Beras
|
Produksi Gandum
|
Indonesia
|
1000
|
100
|
Cina
|
1000
|
300
|
Sebelum masing-masing negara saling menukar kedua komoditi
tersebut, akan dilakukan negosiasi mengenai nilai tukar dari kedua komoditi
tersebut. Besarnya nilai tukar tersebut biasanya berkisar atau di antara nilai
harga relatif kadua komoditi di masing-masing negara. Dengan demikian nilai
tukar internasional 1 ton gandum adalah di antara 2,5 ton sampai dengan 20 ton
beras, yakni ± 1 ton gandum akan dihargai 10 ton beras (bisa juga 9, 11, atau
12 ton beras). Dengan demikian jika Indonesia mengimpor gandum dari Cina
sebesar 1000 ton, maka sebagai konsekuensi dari nilai tukar yang disepakati,
maka Indonesia akan mengirim 1000 ton beras (100 ton gandum × 10) kepada Cina
(lihat tabel di atas).
Dari tabel terakhir tersebut tampak bahwa masing-masing
negara telah mendapatkan keuntungan berupa bertambahnya komoditi yang tersedia
di dalam negeri, dengan rincian:
· Indonesia mendapatkan keuntungan dalam
hal komoditi gandum senilai 50 ton, karena sebelum perdagangan hanya dapt
menikmati 50 saja, sedangkan setelah perdagangan menjadi 100 ton gandum.
· Cina mendapat keuntungan dalam komoditi beras
senilai 500 ton, karena sebelumnya hanya bisa menghasilkan 500 ton, dan setelah
perdagangan dapat menikmati 100 ton beras.
KEBIJAKSANAAN PERDAGANGAN LUAR NEGERI DARI PELITA KE PELITA
Bahwa pembangunan nasional direalisasikan melalui, Pembangunan
Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka
Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa
Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu:
· Pelita I (1
April 1969 - 31 Maret 1974)
Menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru.
Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat
dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya.
Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana
perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian
sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses
pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup
dari hasil pertanian.
Muncul peristiwa Marali (Malapetaka Limabelas Januari)
Terjadi pada tanggal 15-16 Januari 1947 bertepatan dengan
kedatangan PM Jepang Tanaka ke Indonesia. Peristiwa ini merupakan kelanjutan
demonstrasi para mahasiswa yang menuntut Jepang agar tidak melakukan dominasi
ekonomi di Indonesia sebab produk barang Jepang terlalu banyak beredar di
Indonesia. Terjadilah pengrusakan dan pembakaran barang-barang buatan Jepang.
· Pelita II (1
April 1974 - 31 Maret 1979)
Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan,
sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas
kesempatan kerja.
Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal
pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi
berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun
menjadi 9,5%.
· Pelita III (1
April 1979 - 31 Maret 1984)
Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi
Pembangunan, yang isinya:
a. Pemeratan pembangunan dan hasil-hasilnya
menuju kepadaterciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
b. Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
c. Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis
Dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang
dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan, yaitu:
- Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat,
khususnya sandang, pangan, dan perumahan
- Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan
pelayanan kesehatan
- Pemerataan pembagian
pendapatan
- Pemerataan kesempatan kerja
- Pemerataan kesempatan berusaha
- Pemerataan kesempatan berpartisipasi
dalam pembangunankhususnya bagi generasi muda dan kaum perempuan
- Pemerataan penyebaran pembagunan di seluruh wilayah
tanah air
- Pemerataan kesempatan memperoleh
keadilan
· Pelita IV (1
April 1984 - 31 Maret 1989)
Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk
menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat
menghasilkan mesin industri sendiri.
Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini
yaitu awal tahun 1980 terjadi resesi. Untuk mempertahankan
kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan
fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
· Pelita V (1
April 1989 sampai 31 Maret 1994)
Titik beratnya terdapat pada sektor pertanian dan
industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik,
dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar
negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih
baik dibanding sebelumnya.
· Pelita VI (1 April 1994 sampai
31 Maret 1999)
Titik berat pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor
ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan
kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun
pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia
Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa
politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses
pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
B. HAMBATAN
PERDAGANGAN ANTAR NEGARA
B. HAMBATAN
PERDAGANGAN ANTAR NEGARA
Meskipun setiap negara menyadari bahwa perdagangan negaranya
dengan negara lain harus terlaksana dengan baik, lancar, dan saling
menguntungkan; namun seringkali negara-negara tersebut membuat suatu
kebijaksanaan dalam sektor perdagangan luar negeri yang justru menimbulkan
hambatan dalam proses transaksi perdagangan luar negeri.
Namun demikian, dengan mulai dicetuskannya era perdagangan
bebas, maka hambatan-hambatan yang selama ini cukup menggelisahkan akan dicoba
untuk dikurangi dan jika mungkin dihapuskan. Adapun bentuk-bentuk hambatan yang
selama ini terjadi di antaranya adalah:
·
Hambatan Tarif
Tarif adalah suatu nilai tertentu yang dibebankan kepada
suatu komoditi luar negeri tertentu yang akan memasuki suatu negara (komoditi
import). Tarif sendiri ditentukan dengan jumlah yang berbeda untuk
masing-masing komoditi import. Secara garis besar bentuk penetapan tarif ada
dua jenis, yakni:
1. Tarif Ad-Volarem
Yakni tarif yang besar kecilnya ditetapkan berdasarkan
presentase tertentu dari nilai komoditi yang diimpor. Misalnya jika tarif untuk
komoditi import komponen mobil adalah 5%, maka jika ada komponen mobil masuk
seharga $ 1.000 maka tarifnya adalah sebesar $ 500. Akibatnya harga komponen
mobil tersebut sekarang menjadi $ 1.500.
2. Tarif Spesifik
Yakni tarif yang besar kecilnya didasarkan pada nilai yang
tetap untuk setiap jumlah komoditi import tertentu. Sebagai contoh, setiap
komoditi import seberat 1 ton akan dikenakan tarif senilai $ 500. Jika kita
bandingkan dengan jenis tarif yang pertama maka terdapat perbedaan yang
mencolok, yakni besarnya tarif akan sama meskipun nilai komoditi yang diimport
tidak sama, karena 1 ton komoditi import tersebut bisa saja nilainya $ 5.000,
yang jika digunakan tarif ad-volarem akan dikenai tarif sebesar $ 2.500 (lebih
besar dari tarfi spesifiknya yang hanya $ 500). Di dalam perekonomian Indonesia
sendiri tarif masih menjadi salah satu sumber pendapatan negara dan sebagai
alat proteksi industri dalam negeri yang cukup ampuh, meskipun mulai dicoba
untuk dikurangi searah dengan persiapan era perdagangan bebas yang segera akan
berlaku di tahun 2000-an.
Dari peristiwa transaksi luar negeri dan pengenaan tarif
tersebut dapat disimpulkan:
a. Tidak adanya tarif menjadikan komoditi import
yang masuk ke Indonesia menjadi bertambah banyak sehingga harganya turun
(menjadi lebih murah), akibatnya masyarakat lebih menyukai produk tersebut. Hal
ini berakibat produksi/ penawaran produk sejenis dari industri dalam negeri
merosot tajam menjadi hanya sebesar Q2 saja, sesuatu hal yang merugikan. Dengan
kata lain industri nasional hanya mampu dan memiliki kontribusi sebesar Q2 saja
dari seluruh kebutuhan komponen kendaraan di Indonesia.
b. Kebijaksanaan tarif menjadikan keadaan pada
kesimpulan pertama menjadi lebih baik, hal ini dibuktikan dengan naiknya
produksi nasional yang dipergunakan menjadi lebih besar yakni sebesar Q4 (jauh
lebih baik dari sebelum adanya tarif).
·
Hambatan Quota
Quota termasuk jenis hambatan perdagangan luar negeri yang
lazim dan sering diterapkan oleh suatu negara untuk membatasi masukkan komoditi
import ke negaranya. Quota sendiri dapat diartikan sebagai tindakan pemerintah
suatu negara dengan menentukan batas maksimal suatu komoditi import yang boleh
masuk ke negara tersebut. Seperti halnya tarif, tindakan quota ini tentu tidak
akan menyenangkan bagi negara peng-ekspornya. Indonesia sendiri pernah
menghadapi quota import yang diterapkan oleh sistem perekonomian Amerika.
·
Hambatan Dumping
Meskipun karakteristiknya tidak seperti Tarif dan Quota,
namun dumping sering menjadi suatu masalah bagi suatu negara dalam proses
perdagangan luar negrerina, seperti yang dialami baru-baru ini (akhir 1996), di
mana industri sepeda Indonesia dituduh melakukan politik dumping. Dumping
sendiri diartikan sebagai suatu tindakan dalam menetapkan harga yang lebih
murah di luar negeri dibanding harga di dalam negeri untuk produk yang sama.
·
Hambatan Embargo/ Sanksi Ekonomi
Sejarah membuktikan bahwa suatu negara yang karena
tindakannya dianggap melanggar hak asasi manusia, melanggar wilayah kekuasaan
suatu negara, akan menerima/ dikenakan sanksi ekonomi oleh negara yang lain
(PBB). Contoh yang masih hangat di telinga adalah kasus Intervensi Irak, kasus
Libia, dan masih banyak lagi. Akibat dari hambatan yang terakhir ini biasanya
lebih buruk dan meluas bagi masyarakat yang terkena sanksi ekonomi daripada
akibat yang ditimbulkan oleh hambatan—hambatan perdagangan lainnya.
Mengapa Pemerintah Menerapkan Hambatan Perdagangan?
Banyak alasan yang mendorong pemerintah menerapkan
kebijaksanaan hambatan perdagangan, di antaranya adalah:
Tarif dan quota di samping untuk mrningkatkan pendapatan
negara dari sektor luar negeri, dipergunakan untuk lebih menyeimbangkan keadaan
neraca pembayaran yang masih defisit. Dengan dikenakannya tarif atau quota
pengeluaran untuk membeli komoditi impor menjadi berkurang sehingga dapat
mengurangi pos pengeluaran dalam neraca pembayaran.
Tarif dan quota juga diterapkan untuk melindungi industri
dalam negeri yang masih dalam taraf berkembang, dari serangan komoditi-komoditi
asing yang telah lebih dahulu ‘dewasa’. Hal ini perlu dilakukan mengingat
seringkali di negara berkembang (seperti Indonesia misalnya) masih banyak
industri yang masih belum dapat berproduksi secara efisien sehingga produk yang
dihasilkan belum dapat bersaing dengan produk sejenis yang berasal dari luar
negeri. Untuk itulah tarif atau quota diterapkan. Dapat juga kebijaksanaan ini
diterapkan jika suatu negara tidak memiliki persediaan devisa yang cukup untuk
melakukan impor sehingga pemerintah harus menghemat devisa tersebut.
Tarif dan quota juga diterapkan untuk mempertahankan tingkat
kemakmuran yang telah dirasakan dan dinikmati oleh masyarakat suatu negara.
Berkembangnya industri di dalam negeri memberi dampak positif bagi banyak
pihak, seperti produsen, karyawannya, termasuk konsumen. Dengan hadirnya produk
sejenis dari luar negeri dikhawatirkan akan merusak kondisi tersebut karena
dalam jangka waktu tertentu industri dalam negeri akan menghadapi persaingan
yang semakin berat sehingga dimungkinkan terjadi kemunduran perusahaan, yang
berarti kemunduran kemakmuran pihak-pihak yang terkait. Untuk mengantisipasi
keadaan ini, maka digunakanlah kebijaksanaan tarif dan quota ini.
Adapun dumping jika terpaksa ditempuh (sering kemudian
menjadi masalah antar negara) digunakan untuk memacu perkembangan ekspor lewat
kenaikan permintaan dikarenakan harga yang murah tersebut. Meskipun dalam
jangka pendek industri dalam negeri (pengekspor) akan rugi dengan menetapkan
harga di bawah harga sesungguhnya, namun dalam jangka panjang diharapkan dapat
tertutupi dengan peningkatan penjualan yang sangat besar.
Sedangkan sanksi ekonomi diterapkan lebih dikarenakan untuk
menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan HAM, politik, terorisme,
dan kemananan Internasional. Bagi negara yang terkena sanksi diharapkan dapat
memperbaiki ‘sikap’ dan ‘tindakannya’ bagi kepentingan negara lain dan bagi
dunia.
C. NERACA
PEMBAYARAN LUAR NEGERI INDONESIA
Seperti halnya bentuk neraca keuangan lazimnya, maka neraca
pembayaran luar negeri Indonesia juga merupakan suatu bentuk pelaporan yang
sistematis mengenai segala transaksi ekonomi yang diakibatkan oleh adanya
kebijaksanaan dan kegiatan ekonomi di sektor luar negeri. Dengan demikian dalam
neraca ini juga terdapat pos yang merupakan arus dana masuk (umumnya ditandai
dengan +) dan ada pos yang merupakan arus dana keluar (ditandai dengan -).
Namun demikian secara singkat pos-pos dalam neraca
pembayaran luar negeri Indonesia tersebut dapat dikelompokkan ke dalam berikut
ini:
a. Neraca perdagangan, yang merupakan
kelompok transaksi-transaksi yang berkaitan dengan kegiatan ekspor dan impor
barang, baik migas maupun non-migas.
b. Neraca jasa, merupakan kelompok
transaksi-transaksi yang berkaitan dengan kagiatan ekspor-impor di bidang jasa.
c. Neraca berjalan, merupakan hasil penggabungan
antara neraca perdagangan dan neraca jasa. Jika lebih banyak pos arus kas
masuknya (ekspor) maka nilai neraca berjalan ini akan surplus, begitu pula
sebaliknya.
d. Neraca lalu lintas modal, merupakan
kelompok pos-pos yang berkaitan dengan lalu lintas modal pemerintah bersih
(selisih antara pinjaman dan pelunasan hutang pokok) dan lalu lintas modal
swasta bersih, berikut lalu lintas modal bersih lainnya yang merupakan selisih
penerimaan penanaman modal asing dengan pembayaran BUMN.
e. Selisih yang belum diperhitungkan.
f. Neraca lalu lintas moneter, yang
merupakan kelompok pos-pos yang berkaitan dengan perubahan cadangan devisa.
D. PERAN
KURS VALUTA ASING
Kurs valuta asing sering diartikan sebagai banyaknya nilai
mata uang suatu negara (Rupiah misalnya) yang harus dikorbankan/ dikeluarkan
untuk mendapatkan satu unit mata uang asing (dollar misalnya). Sehingga dengan
kata lain, jika kita gunakan contoh Rupiah dan Dollar, maka kurs valuta asing
adalah nilai tukar yang menggambarkan banyaknya Rupiah yang harus dikeluarkan
untuk mendapat satu unit Dollar dalam kurun waktu tertentu. Masalah kurs valuta
asing mulai muncul ketika transaksi ekonomi sudah mulai melibatkan dua negara
(mata uang) atau lebih, tentunya sebagai alat untuk menjembatani perbedaan mata
uang di masing-masing negara.
Sebelum lebih jauh kita bahas mengenai kurs valuta asing,
perlu kiranya dijelaskan lebih dahulu beberapa istilah yang biasanya dikaitkan
dengan kurs valuta asing tersebut, yaitu:
Depresiasi , adalah turunnya nilai tukar Rupiah
terhadap mata uang asing (Dollar). Misalnya tadi 1 $ = Rp 2.350,- menjadi 1 $ =
Rp 2.400,-. Dengan kata lain depresiasi Rupiah menyebabkan semakin banyak Rupiah
yang harus dikeluarkan untuk mendapatkan 1 unti Dollar.
Apresiasi, adalah kebalikan dari Depresiasinya Rupiah.
Dengan demikian jika Rupiah mengalami depresiasi (mengalami penurunan nilai)
maka mata uang Dollar akan Apresiasi.
Spot Rate, adalah nilai tukar yang masa berlakunya
hanya dalam waktu 2×24 jam saja. Sehingga jika sudah melewati batas waktu di
atas maka nilai tukar tersebut sudah tidak berlaku lagi. Sebagai contoh, jika
pada tanggal 15 Desember 1996 kurs 1 $ = Rp 2.350,- maka setelah tanggal 18
Desember 1996 misalnya, maka kurs tersebut sudah tidak berlaku lagi.
Banyak orang awam mengira kurs (nilai tukar) Dollar terhadap
Rupiah saat ini tidak adil. Orang Amerika dengan hanya membawa 1 $, datang ke
Indonesia akan mendapat ± Rp 2.300,-. Sebaliknya orang Indonesia jika ingin ke
Amerika harus mengorbankan ± Rp 2.300,- hanya untuk mendapatkan 1 unit mata
uang mereka ( 1 $).
Sulit untuk mendapatkan informasi kapan pertama kali dan
dengan nilai berapa Dollar dihargai dengan mata uang Rupiah. Lepas dari semua
itu, perubahan kurs suatu mata uang terhadap mata uang lainnya secara prinsip
hanya disebabkan karena adanya perubahan kekuatan permintaan dan penawaran
terhadap mata uang asing yang akan dipertukarkan, yang sebenarnya identik
dengan kekuatan permintaan dan penawaran akan komoditi yang diperdagangkan.
Jadi yang paling penting adalah mengetahui dan mencoba memperbaiki sebab-sebab
terjadinya perubahan kedua kekuatan tersebut.
Referensi :